Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, KBBI.Web.id , mualaf adalah orang yang baru masuk Islam. Selain itu, Mengutip e-jurnal milik uinkhas.ac.id, mualaf adalah orang non muslim yang baru saja memeluk agama Islam.
Dalam arti bahasa, mualaf diartikan sebagai orang yang dijinakkan hatinya agar memeluk agama Islam (bagi orang non-muslim) atau agar ia semakin kokoh keimanannya terhadap agama Islam (bagi orang muslim).
Dalam pengertian syariat, mualaf adalah orang-orang yang diikat hatinya untuk mencondongkan mereka pada Islam, atau untuk mengokohkan mereka pada Islam, atau untuk menghilangkan bahaya mereka dari kaum Muslimin, atau untuk menolong mereka atas musuh mereka, dan yang semisal itu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 36/12; Yusuf Qaradawi, Fiqh Az Zakah, 2/57).
Mualaf dalam Kajian Fiqih
Sedangkan mualaf dalam mazhab Syafi’i terbagi menjadi dua: orang-orang Islam dan kafir. Namun, orang kafir tidak boleh menerima zakat karena kekafirannya. Adapun mualaf Islam ada empat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Khatib As-Syirbini sebagai berikut:
ﻭاﻟﺮاﺑﻊ اﻟﻤﺆﻟﻔﺔ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺟﻤﻊ ﻣﺆﻟﻒ ﻣﻦ اﻟﺘﺄﻟﻴﻒ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﻭﻧﻴﺘﻪ ﺿﻌﻴﻔﺔ ﻓﻴﺘﺄﻟﻒ ﻟﻴﻘﻮﻯ ﺇﻳﻤﺎﻧﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﻭﻧﻴﺘﻪ ﻓﻲ اﻹﺳﻼﻡ ﻗﻮﻳﺔ ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻪ ﺷﺮﻑ ﻓﻲ ﻗﻮﻣﻪ ﻳﺘﻮﻗﻊ ﺑﺈﻋﻄﺎﺋﻪ ﺇﺳﻼﻡ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻭ ﻛﺎﻑ ﻟﻨﺎ ﺷﺮ ﻣﻦ ﻳﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻛﻔﺎﺭ ﺃﻭ ﻣﺎﻧﻌﻲ ﺯﻛﺎﺓ ﻓﻬﺬاﻥ اﻟﻘﺴﻤﺎﻥ اﻷﺧﻴﺮاﻥ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﻄﻴﺎﻥ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﺇﻋﻄﺎﺅﻫﻤﺎ ﺃﻫﻮﻥ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻣﻦ ﺟﻴﺶ ﻳﺒﻌﺚ ﻟﺬﻟﻚ
Artinya, “Golongan keempat adalah Al-Muallafatu Qulubuhum, dia adalah: Orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Ia diberi zakat agar hatinya lunak, kemudian imannya menjadi kuat.
Orang yang masuk Islam dan keyakinannya sudah kuat, akan tetapi ia mempuyai pengaruh di hadapan kaumnya, dengan memberinya zakat diharapkan kaumnya juga masuk Islam. Orang yang masuk Islam dan keyakinannya sudah kuat dan ia menjaga kaum muslimin dari keburukan orang kafir yang hidup berdekatan dengannya, atau Orang yang masuk Islam dan keyakinannya sudah kuat dan ia menjaga kaum muslimin dari keburukan orang-orang yang membangkang untuk membayar zakat. Golongan kedua yang terakhir ini diberikan jika memberikan zakat kepada keduanya biayanya lebih ringan dibanding dengan mengirim tentara untuk melindungi kaum muslimin.” (Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Khatib As-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 230).
Dalam ajaran Islam menjadi seorang muallaf merupakan hak dari setiap manusia dan menjadi urusannya dengan Allah SWT yang tidak bisa diintervensi oleh manusia lainnya. Artinya memeluk ajaran agama Islam bukanlah sebuah keterpaksaan, pemaksaan, dan dipaksa. Sebagaimana yang telah difirmankan-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 yang artinya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa masuk ke dalam agama Islam tidak ada paksaan di dalamnya. Sehingga tidak dibenarkan dalam ajaran Islam bila ada orang yang melakukan tindakan pemaksaan untuk menjadi muallaf atau masuk dalam agama Islam.
Karena dalam Islam ada ajakan yang sesuai dan dibenarkan yaitu, dengan metode dakwah. yakni , menyampaikan pesan dan nilai Islam dengan cara yang santun dan mendamaikan tanpa adanya unsur paksaan sedikitpun di dalamnya.
Hal ini juga telah disampaikan oleh Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 125 yang artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dengan demikian, mualaf itu bukan hanya orang-orang yang baru masuk Islam, tetapi juga termasuk ke dalam kategori mualaf adalah orang-orang yang dijinakkan hatinya supaya tetap mantap memeluk agama Islam, orang-orang yang dikhawatirkan memusuhi atau mengganggu kaum Muslimin, dan orang-orang yang diharapkan memberi bantuan kepada kaum Muslimin. Orang-orang mualaf ini, pada zaman Rasulullah saw, dan pada masa khalifah Abu Bakar diberi bagian zakat. Pembagian zakat terhadap mereka itu didasarkan pada firman Allah SWT QS. at-Taubah ayat 60.
Status mualaf adakah batasan waktunya?
Terkait pertanyaan, adakah batasan akhir orang masih dianggap mualaf, sehingga ia tidak lagi berhak menerima zakat karena status mualafnya sudah tidak berlaku?
dalam Web NuOnline yang ditulis oleh Ustadz Muhamad Hanif Rahmat tidak menemukan baik dalam Al-Quran, al-Hadits atau pendapat ulama yang menjelaskan tentang batas waktu pemberian zakat kepada mualaf. Namun demikian, tentu orang tidak selamanya menyandang status sebagai seorang mualaf. Jika melihat alasan atau ‘illat seorang mualaf diberi zakat adalah agar hatinya lunak dan imannya menjadi kuat, maka batasnya adalah kekuatan dan kemantapan keimanannya.
Kemantapan keimanan itu setidaknya diketahui dengan kesehariannya dalam melaksanakan ketaatan atau ibadah sebagai seorang muslim. Semisal melaksanakan shalat dan perintah-perintah agama lainnya secara benar, serta meninggalkan apa yang menjadi larangan dalam agama Islam.
sedang dalam media resmi MUhammadiyah disampaikan Dalam Fatwa Tarjih yang termuat di buku Tanya Jawab Agama jilid 4 menyebut bahwa tidak selamanya orang-orang yang dianggap mualaf itu diberi predikat mualaf selama-lamanya, tetapi sudah tentu ada batasnya. Adapun pembatasan waktunya bergantung kepada kebijakan kaum Muslimin atau keputusan pemimpin kaum Muslimin yang didasarkan kepada musyawarah pada suatu tempat tertentu. Kebijakan penetapan pembatasan waktu tersebut oleh kaum Muslimin atau pemimpin kaum Muslimin sudah tentu harus didasarkan pada kepentingan agama dan kaum Muslimin itu sendiri. Jelasnya, tidak ada waktu yang pasti bagi seseorang menyandang predikat mualaf, semuanya itu diserahkan kepada kaum setempat.