Ketua Pembina Mualaf Center Indonesia: Puasa Ramadhan Sebagai Instrumen Transformasi Diri

Oleh : Ust Ali Hasan Bawazier {Ketua Pembina Yayasan Mualaf Center Indonesia)

Rasulullah saw bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

Pada Ramadhan mendatang jangan sampai hanya mendapatkan lapar dan haus saja. Tentu hal ini sangat disayangkan. Karena seharusnya puasa dan ibadsh lsinnyz di bulan Ramadhan diharapkan dapat mentransformasikan diri kita ke jenjang yang lebih baik.

Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin membagi puasa dalam tiga tingkatan, yaitu: (1,) shaumul awam (puasanya orang-orang awam), (2) shaumul khawas (pusanya orang-orang khusus), dan (3) shaumul khawashul khawas (puasanya orang-orang yang sangat khusus). Uraian dari tiga tingkatan tersebut ut sebagai berikut:

  1. Shaumul awam adalah orang yang berpuasa, tapi masih tetap melakukan perbuatan dosa. Puasa yang dilakukan sekadar menahan diri dari rasa lapar dan haus tanpa mengendalikan hawa nafsu.
  2. Shaumul khawas adalah puasa puasa yang dikerjakan tidak hanya menahan lapar dan haus saja. Tingkatan kedua ini dilakukan oleh orang-orang yang berusaha memaknai puasa dengan nilai-nilai baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam berpuasa pada tingkatan ini masih ada celah-celah untuk melakukan maksiat kepada Allah, sehingga dapat menjadi arti puasa dan jiwa kira;
  3. Shaumul khawashul khawas, yaitu orang-orang yang tidak hanya memuasakan perut, tapi seluruh dimensi kehidupannya. Orang yang berada dalam golongan ini mampu menerjemahkan esensi nilai puasa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada saat Ramadhan berakhir, kita telah menjadi orang yang seperti terlahir kembali dan dekat dengan Allah swt. Sehingga segala perbuatan, perkataan, dan tulisan mencerminkan akhlak yang mulia karena telah menjadi orang yang takwa.

Semoga puasa pada Ramadhan ini dan seterusnya dapat MENTRANSFORMASIKAN diri kita menjadi orang bertakwa, sesuai dengan firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَععَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Anggaplah Ramadhan ini yang terakhir bagi kita. Karena ke depan beluk tentu bertemu dengan Ramadhin. Semoga Ramadhan ini dapat menjadikan kita mencapai tingkatan jiwa/mafsul kamilah, seperti kata syeikh Nawawi al-Bantani dalam Kitab Qathrul Ghsits, yaitu meyakini bahwa Allah itu ada baik dengan ilmul yaqiin, ainul yaqiin dan haqqul yaqqiin. Dan memang Allah itu bahkan lebih dekat dari urat leher seperti firmannya:

berbunyi:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf : 16).

Tentu kalau kita menyadari bahwa kesehatan Allah seperti itu, kita tidak akan bermaksiat lewat perbuatan, perkataan dan tulisan. Bahkan sebaliknya kita lebih dekat krpada-Nya.
Allahumma Aamiin